Kamis, 14 Oktober 2010

gerakan mahasiswa

Melihat Kembali Dinamika Gerakan Mahasiswa


Keberadaan mahasiswa di tanah air, terutama sejak awal abad ke dua puluh, dilihat
tidak saja dari segi eksistensi mereka sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan
mengisi peran-peran strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah
terlibat aktif dalam gerakan perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai
anak bangsa yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan
saudaranya yang lain, mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak
dimensi perubahan sosial politik di tanah air pada masanya. Aktivitas mahasiswa yang
merambah wilayah yang lebih luas dari sekedar belajar di perguruan tinggi inilah
yang kemudian populer dengan sebutan “gerakan mahasiswa”.

Dengan demikian, gerakan mahasiswa merupakan sebuah proses perluasan peran
mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya gerakan mahasiswa dengan
perannya yang signifikan dalam perubahan secara langsung akan membongkar
mitos lama di masyarakat, bahwa mahasiswa selama ini dianggap sebagai bagian
dari civitas akademika yang berada di menara gading, jauh dari persoalan yang
dihadapi masyarakatnya. Disinilah letak pentingnya sebuah gerakan dibangun,
yakni untuk secara aktif dan partisipatif berperan serta dalam proses perubahan
masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, sebuah gerakan yang dibangun juga
akan meningkatkan daya kritis mahasiswa secara keseluruhan dalam melihat berbagai
persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional
maupun internasional.

Sejarah menunjukkan bahwa selain aktivitas gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan
terhadap persoalan internal sebuah perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu
menemukan momentum-momentum besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam
perubahan politik nasional menjadi sangat penting. Setelah gerakan pada masa pra
kemerdekaan, gerakan mahasiswa tahun 1966 yang meruntuhkan Orde Lama dan
menopang lahirnya Orde Baru hingga gerakan penggulingan rejim orde tersebut pada
1998 lalu menunjukkan peran mahasiswa yang signifikan dalam perubahan sosial
politik di tanah air. Sebenarnya bangsa Indonesia mempunyai tradisi meromantiskan
kehidupan kaum muda dan mahasiswa. Hal ini terlihat dari cara kita memandang
sejarah modern bangsa kita, dengan membaginya dalam periode-periode waktu
menurut momentum-momentum besar yang melibatkan pemuda dan mahasiswa
dalam perubahan nasional. Periodisasi sejarah gerakan mahasiswa dan pemuda
Indonesia dalam angkatan-angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, dan seterusnya hingga
1998 juga bisa diartikan sebagai pengakuan terhadap peran sentral mahasiswa
dalam perkembangan dan perubahan perjalanan bangsa. Namun demikian, ada
tidaknya “prestasi sejarah” tersebut tidak menjadi indikator utama keberhasilan
gerakan mahasiswa. Karena pada dasarnya, gerakan mahasiswa merupakan proses
perubahan yang esoterik. Ia akan terwujud dalam sebuah idealisme dan cita-cita
gerakan dalam menciptakan sebuah masyarakat yang lebih baik dan lebih adil.

Harus diakui, mahasiswa hanyalah salah satu aktor yang terlibat dalam setiap
momentum perubahan yang terjadi. Walaupun demikian, gerakan mahasiswa dalam
setiap kurun sejarah selalu mampu menempatkan dirinya menjadi aktor utama yang
berada di garda depan perubahan. Hal ini yang membedakan mahasiswa dengan
aktor perubahan lainnya, seperti kalangan cendekiawan, politisi, militer, dan elemen
masyarakat lainnya. Keadaan ini sangat dimungkinkan karena posisi mahasiswa yang

dianggap netral dan belum bersentuhan langsung dengan berbagai kepentingan politik
praktis. Selain itu, sebagai kaum muda yang masih belum mempunyai ketergantungan
dan tanggung jawab ekonomi kepada keluarga serta posisi mereka sebagai calon
intelektual, maka peran sebagai penggagas ide awal, baik di tingkat praksis maupun
wacana, menjadi sangat signifikan. Tetapi, banyak studi menyebutkan bahwa kondisi
psikologis mereka sebagai kaum muda yang dinamis dan anti kemapanan serta
rasa percaya diri yang tinggi sebagai mahasiswa, menjadi faktor penting dalam
menempatkan mahasiswa di garda depan perubahan. Sementara elemen lain dalam
masyarakat sering hanya menjadi kelompok pengikut (kelompok kesiangan), setelah
perubahan berlangsung.

Munculnya kelompok kesiangan ini bisa dimaknai sebagai konsekuensi dari setiap
perubahan sosial politik. Kalau gerakan mahasiswa merupakan bagian dari sebuah
proses inovasi dalam perubahan sosial, Hadley Read (1979) mengatakan bahwa
biasanya untuk menerima suatu inovasi, ada kelompok pelopor (earlier adopters)
yang jumlahnya sedikit. Mahasiswa dan sebagian kecil komponen masyarakat
lainnya masuk dalam kelompok ini. Setelah kelompok pelopor melakukan sosialisasi
dalam waktu tertentu, barulah muncul “kelompok kesiangan” (later adopters) yang
jumlahnya jauh lebih besar. Lantas tersisa kelompok kecil yang menolak sama sekali
inovasi yang sudah memasyarakat itu. Mereka termasuk dalam kelompok pendukung
status quo (non adopters). Kelompok terakhir ini biasanya selalu menjadi penghambat
dalam setiap perubahan sosial yang tengah berlangsung. Mereka adalah kelompok
masyarakat yang selama ini sudah hanyut dalam kenikmatan dari sebuah sistem yang
menguntungkan mereka. Kelompok ini juga yang diidentifikasi oleh mahasiswa
sebagai musuh mereka.

Klasifikasi Read di atas tidak hanya berlaku umum dalam masyarakat ketika
perubahan berlangsung, ia juga terjadi dalam tubuh mahasiswa sendiri. Di kalangan
mahasiswa juga terdapat mahasiswa yang menempatkan dirinya pada posisi earlier
adopters. Mereka adalah kelompok minoritas di kalangan mahasiswa. Mereka
biasanya diidentifikasi dengan sebutan “aktivis mahasiswa”. Namun, sebagian
besar mahasiswa biasanya menjadi kelompok later adopters, bahkan tidak sedikit
yang menjadi pendukung status quo. Hanya saja, pendukung status quo di kalangan
mahasiswa bukanlah “musuh” dalam dalam arti yang sebenarnya dalam sebuah
gerakan dibandingkan dengan kelompok yang sama di masyarakat umum. Kelompok
mahasiswa ini masih mudah untuk disadarkan akan pentingnya melakukan perubahan
masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, peran sebagai garda depan
perubahan—dalam arti sesungguhnya—pada dasarnya hanya layak disandingkan pada
kalangan aktivis mahasiswa, tanpa mereduksi peran mahasiswa secara keseluruhan.
Karena para aktivis mahasiswa inilah yang sebenarnya berperan di garda depan yang
menggerakkan sebuah proses gerakan mahasiswa.

Selain itu, intensitas sebuah sebuah gerakan dalam proses perubahan pada dasarnya
dipengaruhi oleh dua kondisi, yakni pertama, kondisi subyektif, berupa hal-hal yang
berkaitan dengan faktor internal mahasiswa seperti latar belakang sosial, ideologi dan
idealisme yang terbangun. Dan kedua, kondisi obyektif, adalah tatanan sosial, politik
dan ekonomi yang melingkupi proses gerakan. Umumnya, peran strategis mahasiswa
akan menguat tatkala kedua kondisi ini secara signifikan dapat mendukung terjadinya
momentum-momentum perubahan sosial politik. Kedua kondisi ini akan kita
bicarakan lebih lanjut dalam bahasan di bawah ini.

Aktivis dan Non Aktivis Mahasiswa

Mengapa sebuah gerakan mahasiswa dapat berlangsung, dan siapa yang
menggerakkannya? Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sederhana, tapi tidak
mudah untuk menjawabnya. Sarlito Wirawan Sarwono (1978) mencoba menjawab
lebih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gerakan
mahasiswa tersebut dengan melakukan sebuah penelitian yang merupakan tesis
doktoral pada Universitas Indonesia. Sarlito menggunakan istilah “gerakan protes”
untuk menyebut aktivitas mahasiswa tesebut. Ia memulai risetnya dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan:
1.Mengapa gerakan protes mahasiswa terjadi? Faktor-faktor apa yang menentukan
timbulnya gerakan protes?
2.Mahasiswa-mahasiswa manakah yang aktif berpartisipasi dalam gerakan-gerakan
protes itu? Ciri-ciri psikologis apa yang membedakan mahasiswa-mahasiswa aktivis
ini dari mahasiswa-mahasiswa non-aktivis lainnya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebenarnya juga telah ada dalam penelitian lain
yang lebih dahulu, yang juga mempersoalkan hal yang sama, seperti yang telah
dilakukan oleh Altbach, Lipset, Keniston, Feuer, dan Shimbori. Namun demikian,
penelitian-penelitian tersebut lebih banyak bersifat penelitian sosiologis, dan
bukan penelitian psikologis dan belum ada satu pun yang dilakukan di Indonesia.

Untuk membandingkan mahasiswa-mahasiswa yang pernah ikut dalam gerakan
protes, Sarlito membagi mahasiswa dalam tiga jenis, yaitu:
1.Aktivis: mahasiswa yang pernah ikut dalam suatu gerakan protes (minimum sekali)
2.Pemimpin: mahasiswa yang pernah memprakarsai atau mengorganisir suatu gerakan
protes (minimum sekali)
3.Non-aktivis: mahasiswa yang tidak pernah ikut sama sekali dalam gerakan protes.

Sedangkan gerakan protes itu sendiri dirumuskan sebagai tindakan menentang
otoritas (pemerintah atau pimpinan perguruan tinggi) yang dilaksanakan tidak melalui
saluran-saluran formal. Secara kuantitatif, terdapat perbedaan jumlah yang sangat
mencolok antara pemimpin dan aktivis di satu pihak, dan non-aktivis di pihak lain.
Dari seluruh responden (2.500 orang), 2,8% diantaranya tergolong pemimpin dan
5,4% dapat digolongkan aktivis. Sedangkan sisanya tergolong non-aktivis sebesar
91,8%. Data ini memberikan gambaran bahwa para aktivis dan pemimpin mahasiswa
adalah kelompok minoritas di kampus dibandingkan dengan kalangan non-aktivis
mahasiswa.
Penelitian yang berangkat dari hipotesa deprivasi relatif Gurr menghasilkan analisis
yang sangat menarik. Pemimpin mempunyai beberapa sifat yang sama dengan aktivis
dan mempunyai beberapa sifat lain pula yang sama dengan non-aktivis. Tetapi
antara aktivis dan non aktivis hampir tidak dapat ditemukan persamaan-persamaan.
Nampaknya hal ini memang wajar, yaitu seorang pemimpin memerlukan simpati dan
dukungan dari semua pengikutnya, yang dalam hal ini terdiri dari aktivis maupun non-
aktivis. Sebaliknya, aktivis tidak selalu mempunyai persamaan dengan non-aktivis
karena aktivis pada dasarnya bergiat menurut garisnya sendiri, tidak membutuhkan
pengikut. Pemimpin dan aktivis sama-sama merasa lebih pandai dari mahasiswa
lainnya, duduk di tingkat yang lebih tinggi, lebih tua, lebih berpengalaman, kritis dan
agresif. Mereka datang dari the pattern setting group atau kelas menengah ke atas.
Pemimpin dan aktivis relatif lebih banyak di perguruan-perguruan tinggi swasta dan
kota-kota besar.

Pemimpin berbeda dengan aktivis, ternyata lebih melihat kenyataan, lebih banyak
mempertimbangkan realitas dari pada aktivis. Karena itu, pemimpin lebih bisa

melihat hal-hal yang positif, tidak hanya melihat segi negatifnya saja dari sesuatu
hal. Di lain pihak, aktivis lebih idealis dan dalam idealismenya itu ia cenderung
melihat segala sesuatu serba tidak sempurna dan serba kurang memuaskan. Karena
itu, ketidakpuasan aktivis lebih bertahan lama dan meluas mencakup segala hal,
sedangkan ketidakpuasan pemimpin terbatas pada hal-hal tertentu saja dan hanya
mengenai masalah-masalah yang prinsipil saja.

Non-aktivis di lain pihak, tidak melihat banyak hal yang perlu dirisaukan di
sekitarnya. Segala sesuatu berjalan baik, dan kalaupun ada hambatan yang bisa
menghalangi studinya, maka hambatan itu datang dari dirinya sendiri yang merasa
kurang mampu. Satu syarat lain yang perlu dipunyai oleh seorang pemimpin tetapi
tidak diperlukan oleh seorang aktivis adalah kemampuan bicara, kemampuan persuasi
dan keberanian mengambil resiko. Mahasiswa-mahasiswa dari suku bangsa tertentu
yang mempunyai kemampuan-kemampuan ini ternyata memang lebih banyak
mempunyai pemimpin gerakan protes mahasiswa.

Adapun tempat-tempat persemaian yang baik untuk pembentukan aktivis dan
pemimpin gerakan protes mahasiswa adalah badan-badan kemahasiswaan intra
universitas seperti Dewan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, Majelis Permusyawaratan
Mahasiwa dan Pers Kampus. Sedangkan di kalangan organisasi mahasiswa ekstra
universitas hanya organisasi-organisasi tertentu dan jabatan-jabatan tertentu saja
yang cukup berarti bagi persemaian pemimpin dan aktivis gerakan protes mahasiswa.
(Sarlito, 1978)

Secara keseluruhan, tesis Sarlito tersebut di atas cukup komprehensif, walaupun ada
beberapa hal yang barangkali kurang relevan dengan kenyataan saat ini. Beberapa
hal tersebut misalnya ia mengatakan bahwa para aktivis dan pemimpin mahasiswa
lebih banyak muncul di perguruan-perguruan tinggi swasta. Dalam kenyataannya,
tidak ada hubungan yang signifikan antara perguruan tinggi swasta dan negeri dalam
melahirkan pemimpin dan aktivis mahasiswa. Pendapat lain yang perlu dikoreksi
adalah tempat persemaian yang baik untuk para aktivis dan pemimpin mahasiswa
adalah lembaga kemahasiswaan intra universitas. Pendapat ini memang relevan
dengan kondisi tahun 1970-an dimana suasana dan daya tarik aktivitas intra kampus
lebih menonjol dibandingkan kegiatan-kegiatan di lembaga ekstra universitas.

Namun, sejak Dewan Mahasiswa dibubarkan di semua perguruan tinggi lewat SK
Kopkamtib No. Skep 01/kopkam/1978 dan ditindaklanjuti dengan SK NKK/BKK
oleh Mendikbud Daoed Yusoef maka lembaga kemahasiswaan intra universitas nyaris
lumpuh. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan berada dibawah kendali
rektorat. Suatu proses yang tidak pernah membuat mahasiswa belajar berpolitik
secara mandiri dan bertanggung jawab. Walaupun demikian, tesis Sarlito di atas
cukup menjadi pijakan untuk melihat bagaimana kondisi subyektif yang membentuk
mahasiswa menjadi seorang watak aktivis maupun non-aktivis. Demikian juga,
kondisi tersebut secara signifikan berperan dalam tindakan protes, atau lebih luas lagi
dalam sebuah gerakan mahasiswa secara keseluruhan.

Munculnya Gerakan Perubahan
Secara teoritis, literatur-literatur ilmu politik menjelaskan beberapa pandangan yang
menjadi penyebab lahirnya sebuah gerakan yang mengarah pada perubahan sosial.
Pandangan pertama menjelaskan bahwa gerakan sosial itu dilahirkan oleh kondisi
yang memberikan kesempatan (political opportunity) bagi gerakan itu. Pemerintah
yang moderat, misalnya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya

gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter. Kendala untuk membuat
gerakan di negara yang represif lebih besar dibandingkan dengan negara yang
demokrat. Sebuah pemerintahan negara yang berubah dari represif menjadi moderat
terhadap oposisi, menurut pandangan ini, akan diwarnai oleh lahirnya berbagai
gerakan sosial yang selama ini terpendam di bawah permukaan.

Pandangan kedua berpendapat bahwa gerakan sosial timbul karena meluasnya
ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke
masyarakat modern, misalnya, dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang
makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini
dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai yang selama ini
diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak di kalangan yang dirugikan
dan kemudian meluas menjadi gerakan sosial. Pandangan ketiga beranggapan bahwa
gerakan sosial adalah semata-mata masalah kemampuan (leadership capability) dari
tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi,
membuat jaringan, membangun organisasi, yang menyebabkan sekelompok orang
termotivasi untuk terlibat dalam gerakan tersebut.

Selain itu, dalam sebuah perubahan sosial, selalu ditemukan faktor-faktor penting
yang menjadi pemicu lahirnya perubahan yang pada gilirannya menjadi realitas sosial
baru. Perintis sains-sains sosial Islam, Dr. Ausaf Ali berpendapat bahwa faktor-
faktor penting yang menjadi pemicu perubahan itu adalah: pertama, munculnya kritik
terhadap realitas dan praktek sosial yang ada, yang dilakukan oleh mereka yang
cenderung terhadap tatanan baru. Kedua, adanya paradigma baru nilai-nilai, norma
dan sistem penjelas yang berbeda; dan ketiga, partisipasi sosial yang dipilih oleh
mereka yang cenderung dengan tatanan baru tersebut dalam mentransformasikan
masyarakatnya. Faktor-faktor penting tersebut dapat kita lihat dalam sejarah
Renaisance di Eropa, lahirnya Marxisme dan Sosialisme di Eropa Timur, dan
terutama sekali sejarah perjuangan nabi-nabi, serta berbagai perubahan sosial
mutakhir yang melibatkan para mahasiswa.

Sementara Huntington (1991) menjelaskan mekanisme transisi politik dari
pemerintahan ortoriter ke demokratis dengan mengajukan empat model perubahan
politik. Pertama, model transformasi (transformation). Dalam hal ini, inisiatif
demokratisasi berasal dari pemerintah. Pemerintahlah yang melakukan liberalisasi
sistem politik. Biasanya model ini terjadi di negara yang pemerintahannya sangat
kuat, sementara masyarakat sipilnya lemah. Transisi yang terjadi di Taiwan pada
awal tahun 1990-an, ketika pemerintah Kuomintang menyelenggarakan pemilu yang
demokratis kira-kira masuk dalam model ini. Juga proses perubahan transisi politik
yang terjadi di Spanyol dan Brazil.

Kedua, model replasi (replacement). Model ini terjadi ketika pemerintah yang
berkuasa dipaksa untuk meletakkan kekuasaannya dan kemudian digantikan oleh
kekuatan oposisi. Berbeda dengan model pertama di atas, model ini terjadi di negara
yang pemerintahannya mulai lemah, sedangkan masyarakat sipilnya tubuh menjadi
kuat. Rejim Marcos di Filipina yang dipaksa turun oleh rakyatnya dan kemudian
digantikan oleh Cory Aquino merupakan contoh yang tepat untuk model ini, selain
Jerman Timur dan Portugal.

Ketiga, model transplasi (transplacement). Model ini merupakan gabungan dari
dua model yang sudah disebutkan di atas. Model ini terjadi karena pemerintah
yang berkuasa masih kuat, sementara pihak oposisi belum terlalu solid untuk

menjatuhkannya. Maka diupayakanlah berbagai proses negosiasi antara pihak
pemerintah dan pihak oposisi tentang bagaimana langkah-langkah yang harus diambil
bersama untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis secara gradual. Lech
Walesa di Polandia agaknya mempraktekkan model ini dengan cara melakukan
negosiasi dengan pihak militer untuk mewujudkan demokratisasi. Hal yang sama
terjadi di Bolivia dan Nicaragua.

Keempat, model intervensi (intervention). Model ini terjadi disebabkan oleh
keterlibatan pihak eksternal yang turut campur. Contoh kasus yang paling tepat
barangkali adalah intervensi angkatan perang AS terhadap pemerintahan Panama
dengan tuduhan keterlibatan jaringan perdagangan obat bius. Intervensi akhirnya
mendorong dilaksanakan pemilu yang demokratis.

Mengacu pada beberapa rumusan teoritis di atas, maka dinamika keterlibatan
mahasiswa dalam setiap momen perubahan sosial politik sangat bervariasi, tergantung
pada kondisi obyektif yang ada. Dalam sistem politik nasional yang otoriterianistik,
seperti Indonesia pada jaman Orde Baru, gerakan mahasiswa cenderung sulit
menemukan bentuknya yang heroik. Hal ini bisa dipahami sebagai konsekuensi dari
upaya sebuah rejim otoriter untuk membungkam setiap gerakan yang berseberangan
dengan kekuasaan, termasuk gerakan mahasiswa. Dalam kondisi yang demikian,
maka yang terjadi adalah upaya pemasungan dan pengendalian hak-hak mahasiswa.
Mahasiswa kemudian diarahkan menjadi “anak baik” yang akan mengisi kotak-
kotak pembangunan, tanpa disertai adanya kesadaran yang tepat terhadap berbagai
persoalan masyarakat. Lulusan perguruan tinggi pun hanya menjadi kacung
pembangunan untuk melegitimasikan kekuasaan otoriter yang korup. Itulah yang
terjadi selama ini.

Namun demikian, dalam logika gerakan, kondisi yang otoriterianisktik dan korup
justru menjadi faktor awal untuk memunculkan kritik dan berbagai ketidakpuasan
sosial lainnya. Dalam perspektif yang lebih luas, ketimpangan dunia dalam
wujud kapitalisme dan imperialisme juga menjadi landasan kritik bagi gerakan
mahasiswa. Dinamika kondisi politik yang berubah dari represif menjadi moderat
terhadap oposisi, juga akan melahirkan berbagai gerakan mahasiswa yang selama
ini terpendam di bawah permukaan. Atau menurut terminologi Huntington, dalam
model replasi dan transplasi akan memberi ruang gerak yang lebih luas bagi gerakan
mahasiswa.

Selain itu, perkembangan gerakan mahasiswa di banyak negara lain di manca negara
secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada gerakan mahasiswa
di tanah air. Gerakan mahasiswa di Korea, Cina, Amerika Latin, dan lain sebagainya
sering menjadi referensi pembanding dalam merumuskan strategi gerakan yang efektif
bagi gerakan mahasiswa kita.

Gerakan Moral Versus Gerakan Politik
Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa kondisi subyektif dan kondisi
obyektif secara signifikan kemudian membentuk watak gerakan mahasiswa. Secara
sederhana, sebuah gerakan merupakan suatu proses untuk mencapai perubahan jangka
panjang seperti yang dicita-citakan. Perubahan jangka panjang ini adalah perubahan
yang visioner (esoterik), yakni perubahan untuk menciptakan tatanan masyarakat
yang ideal. Dengan demikian, sebuah gerakan mahasiswa tidak hanya membutuhkan
modal berupa keberanian di tingkat praksis (eksoterik), tetapi juga kecanggihan di
tingkat wacana.

Pendekatan esoterik biasanya kita akan memasuki wilayah substantif, berupa kajian
tentang substansi gerakan dan banyak bermain dalam dialektika wacana secara terus-
menerus. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul biasanya adalah bagaimana sebuah
orientasi perubahan dirumuskan, landasan teoritis dan ideologis apa yang melingkupi
perubahan, serta tatanan perubahan masyarakat yang bagaimana yang diharapkan
akan terwujud? Dalam konteks ini, maka kekuatan wacana dengan visi yang jelas
merupakan modal yang sangat berharga dalam merumuskan orientasi perubahan.

Sementara pendekatan eksoterik, membuat kita memasuki wilayah praksis gerakan.
Ia akan berproses dalam persoalan strategi gerakan dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti: bagaimana melakukan sebuah perubahan, cara apa yang
diperlukan untuk mencapai tujuan perubahan yang dimaksud? Jawaban-jawaban
terhadap pertanyaan ini tersebut tentu saja kemudian terumuskan dalam wilayah
strategis taktis sebuah gerakan.

Dari pendekatan di atas, maka kita akan bisa melihat bahwa gerakan mahasiswa
akan terpola dalam dua pola besar yang untuk sederhananya kita bagi menjadi dua,
yakni gerakan moral dan gerakan politik. Gerakan moral (moral force) biasanya
dipersepsikan sebagai sebuah gerakan yang memihak pada nilai-nilai moral
universal, yakni nilai kebenaran, keadilan, demokratisasi, hak azasi manusia, dan
sebagainya. Sebuah gerakan moral biasanya tidak masuk dalam wilayah kepentingan
politik praktis dengan saling dukung-mendukung terhadap kekuatan kelompok
tertentu (power block). Mereka hanya mendukung kepentingan nilai yang menurut
mereka bagus. Dengan demikian, kalau misalnya sebuah partai politik (parpol)
mengedepankan nilai-nilai keadilan, demokratisasi, HAM, dan sebagainya, maka
mereka akan mendukungnya dalam arti untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, bukan
mendukung kekuatan parpol secara politis. Sebaliknya, kalau ternyata parpol tersebut
tidak lagi memperjuangkan nilai-nilai dengan standar moralitas yang dimaksud,
maka sebuah gerakan moral akan menarik dukungannya, bahkan melawannya.
Jadi, ringkasnya sebuah gerakan moral adalah gerakan yang mendukung untuk
memperjuangkan nilai-nilai dengan ukuran moralitas tertentu. Disinilah independensi
gerakan mahasiswa akan terlihat. Mahasiswa bukan subordinat kekuatan politik
tertentu.

Sementara gerakan politik merupakan gerakan untuk melakukan perubahan politik
dengan berpihak pada kekuatan politik tertentu, atau menjadikan dirinya sebagai
lokomotif politik mahasiswa. Mereka tidak alergi untuk melakukan sharing dan lobi-
lobi politik dengan kekuatan politik yang ada. Bagi mereka hal ini perlu dilakukan
sebagai strategi untuk mencapai perubahan. Mereka mengkritik gerakan moral
sebagai ketakutan untuk bersentuhan dengan kepentingan politik, dan hanya mampu
melakukan himbauan moral. Keberpihakan pada kekuatan politik tertentu secara riel
tidak apa-apa, sepanjang ide-ide perubahan yang diperjuangkan mahasiswa sejalan
dengan mereka. Dalam kondisi tertentu dan dibutuhkan, organisasi mahasiswa
bahkan berubah menjadi organisasi politik seperti yang pernah dilakukan mahasiswa
Indonesia di Belanda pada 1908 dengan mendirikan Perhimpunan Indonesia.

Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya
sebagai “koboi”. Ia datang ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh
para penjahat di suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali
tenang, maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian
seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.

Dari kedua konteks di atas, maka seyogiayanya gerakan mahasiswa membutuhkan
pola-pola gerakan yang bervariasi. Kecenderungan pada kutup ekstrim tertentu antara
gerakan moral dan gerakan politik justru akan mereduksi peran gerakan itu sendiri.
Karena itu, apapun penjelasannya, kedua pola tersebut tetap dibutuhkan. Yang penting
tetap mampu memberikan nuansa dalam proses perubahan yang visioner dan esoterik.
Dengan kata lain, mengutamakan salah satu pola (gerakan politik maupun gerakan
moral) akan berujung pada kegagalan analitik untuk merumuskan strategi gerakan
dalam mencapai orientasi perubahan.

Pasang Surut Gerakan Mahasiswa Indonesia
Lahirnya Perhimpunan Indonesia yang diprakarsai oleh mahasiswa Indonesia
yang sedang belajar di Belanda pada tahun 1925 merupakan momentum awal dari
semua gagasan dan ide tentang sebuah gerakan perubahan kaum muda yang plural
dan terorganisir secara modern, yang bertujuan untuk membebaskan Indonesia
dari cengkeraman kolonialisme Belanda. Perhimpunan Indonesia ini merupakan
perubahan nama dan terjemahan dari nama Belandanya, yakni Indische Vereniging
(Perhimpunan Hindia), organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang telah ada
sejak 1908. Penggunaan kata “Indonesia” menunjukkan adanya keinginan besar
mahasiswa Indonesia waktu itu untuk melepaskan bangsa ini dari kolonialisme
Belanda.

Akira Nagazumi (1977) mencatat bahwa dalam suatu karangan
mengenai “Perhimpunan Indonesia”, Soenario, pemimpin organisasi ini pada
pertengahan tahun 1920-an, membagi sejarah organisasi tersebut dalam lima kurun
waktu, yakni:
1.1908-1913; masa berkelompok demi cita-cita dan cara untuk mencapainya,
walaupun tanda-tanda patriotisme telah dapat dilihat.
2.1913-1919; orientasi politis ke arah Indonesia merdeka lantaran pengaruh tiga orang
pemimpin Indische Partij yang diasingkan dari tanah airnya.
3.1919-1923; meningkatnya semangat nasionalisme, yang mengarah ke perubahan
nama.
4.1923-1930; perubahan dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik.
5.1930 dan sesudahnya; kemunduran organisasi dan pergeseran dari politik
antikolonial ke anti fasis.

Pada tahun 1900 hanya ada lima mahasiswa Indoensia yang belajar pada pendidikan
tinggi di negeri Belanda, tetapi pada tahun 1908 jumlah mahasiswa Indonesia sudah
23 orang, dan pada tahun inilah Indische Vereniging dibentuk (John S. Furnivall,
1939). Walaupun dimulai dengan sederhana, organisasi ini memiliki arti dalam dua
hal. Pertama, ia membuka pintu keanggotaan untuk semua mahasiswa dari Hindia
Belanda, tidak seperti Budi Utomo yang sekalipun didirikan pada tahun yang sama,
lambat laun menjadi suatu organisasi yang beranggotakan orang Jawa saja. Pilihan ke
arah ini oleh Indische Vereniging tidaklah kebetulan, karena pada mulanya beberapa
para pendirinya mengusulkan untuk membuat perkumpulan tersebut menjadi cabang
Budi Utomo di negeri Belanda. Tetapi, walaupun mayoritas mahasiswa Hindia
Belanda di Nederland itu orang Jawa, namun usul itu tidak diterima oleh mereka yang
berasal dari Sumatera, Minahasa, Maluku, dan yang lainnya. Akibatnya, Indische
Vereniging mampu mengatasi hambatan etnosentrisme. Namun demikian, ternyata
masih diperlukan dua dasawarsa bagi para pemimpin nasionalis di Hindia Belanda
untuk menjadi sadar akan persatuan nasional Indonesia.

Kedua, Indische Vereniging bukan hanya sekedar organisasi persahabatan seperti
disebut oleh beberapa penulis mengenai sejarah Indonesia modern. Pasal dua dari
anggaran Dasarnya menetapkan sebagai berikut: “memperbaiki atau meningkatkan
kepentingan bersama orang Hindia di Negeri Belanda dan memelihara hubungan
dengan Hindia Belanda”. Pada bulan Januari 1909 pengadilan lokal di kota Leiden
mempersoalkan istilah “orang Hindia” (Indier) dan Soemitro, sekretaris organisasi
pada waktu itu, harus menghadap untuk memberi penjelasan mengapa perkataan
tersebut digunakan dan bukan kata yang lazim dipakai, yaitu “Inlander” (pribumi),
walaupun dengan konotasi yang diskriminatif (Nagazumi, 1977).

Dalam sejarah perjalanannya, Perhimpunan Indonesia terbukti mampu
mengakomodasikan semua orang Hindia secara egaliter dan tanpa diskriminatif—
berbeda dengan Budi Utomo—menjadi awal bangkitnya semangat perlawanan
mahasiswa Indonesia. Bahkan dari tahun 1923 hingga tahun 1930 organisasi ini
merubah dirinya dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik, sebuah
metamorfosis yang sangat berani waktu itu. Semangat mahasiswa Indonesia yang
tergabung dalam Perhimpunan Indonesia kemudian semakin mengkristal dalam
berbagai gerakan perubahan di tanah air dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun
1928, dan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Setelah Indonesia merdeka, peranan mahasiswa mulai menonjol kembali terutama
pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu tiga kekuatan, yakni mahasiswa,
Presiden Sukarno dan Angkatan Darat merupakan aktor-aktor yang menentukan.
Angkatan Darat sejak mengumumkan SOB pada bulan Maret 1957, berhasil
menciptakan transformasi dan konsolidasi politik internal. Sehingga secara politik
menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hal ini kemudian diperkuat oleh konsepsi
Jenderal Nasution tentang middle way (jalan tengah) yang kelak menjadi konsep dwi
fungsi ABRI (sekarang TNI). Sedangkan Soekarno, sejak mengumumkan dekrit 5 Juli
1959, posisinya semakin sentral. Partai politik yang di masa Demokrasi Parlementer
menjadi aktor dominan, pada era demokrasi terpimpin ini semakin tergeser perannya.
Soekarno kemudian berhasil menjadi faktor penyeimbang (balance of power) antara
Angkatan Darat dan kekuatan politik lain, terutama PKI yang jelas berseberangan
dengan Angkatan Darat dan mahasiswa (Sudjana, 1995).

Peran mahasiswa pada era ini tumbuh bersamaan dengan terbentuknya Badan
Kerjasama Pemuda-Militer. Badan inilah yang menjadi cikal bakal dan merupakan
forum pertama bagi gerakan mahasiswa untuk menjadi partisipan politik atas
namanya sendiri. Dibandingkan masa Demokrasi Parlementer peran seperti ini
hampir-hampir mustahil, karena pada saat itu posisi mahasiswa selalu berada dalam
subordinat partai politik dengan ideologi dan alirannya masing-masing. Kemelut
ekonomi dan politik pada tahun 1966 dan dibarengi dengan usaha kudeta PKI pada
tanggal 30 September 1966 (G 30 S) menyebabkan terjadinya situasi yang chaos.
Para pemimpin mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan KAPPI terus menjalin
kerjasama erat dengan militer, terutama pimpinan Angkatan Darat, yang kemudian
menaikkan Jenderal Suharto dan lahirlah Orde Baru.

Semasa Orde baru berkuasa, tercatat banyak momentum politik yang melibatkan
mahasiswa. Misalnya tuntutan mahasiswa tahun 1974 dengan peristiwa “Malari”
dan tahun 1978 yang meminta Presiden Suharto mundur. Kedua peristiwa tersebut
berbuntut pada ditangkap dan diadilinya banyak aktivis mahasiswa. Sejak itu,
pemerintahan Suharto menerapkan langkah jitu untuk membungkam setiap gerakan
mahasiswa dengan melakukan depolitisasi mahasiswa dan mengintegrasikan kanpus

menjadi bagiand dari birokrasi negara. Kebijakan ini tentu saja berakibat pada
penghancuran infrastruktur politik mahasiswa. Kegiatan mahasiswa kemudian
menjadi bagian dan dikontrol oleh birokrasi kampus (Rektorat) yang merupakan
kepanjangan tangan birokrasi negara. Sejak saat itu, mahasiswa kita tidak terlibat lagi
dalam politik kampus dan nasional, bahkan cenderung merasa dirinya tidak bermakna
dalam politik. Dalam banyak hal berkembang sinisme, apatisme dan bahkan “inertia”.
Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan.

Lebih parah lagi, kebijakan deideologisasi partai politik, ormas dan lembaga
kemahasiswaan dengan diterapkannya azas tunggal Pancasila pada tahun 1985
membuat dinamika gerakan mahasiswa menjadi lesu. Hal ini tidak saja dialami oleh
lembaga-lembaga mahasiswa intra kampus bentukan Orde Baru, juga dialami oleh
organisasi-organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI,
dan lain-lain. Dalam keadaan seperti ini, model-model gerakan berubah total dari
pola jalanan (demonstrasi) ke pola-pola yang lebih “aman” melalui kajian-kajian
intelektual. Maka muncullah banyak kelompok-kelompok studi di kampus-kampus
sebagai ajang aktualisasi akan fenomena yang terjadi. Keadaan ini berlangsung hingga
akhir tahun 1997-an.

Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan mahasiswa menemukan bentuknya kembali di
bawah represifitas negara yang belum surut. Mungkin banyak orang mengira bahwa
gerakan mahasiswa telah mandeg, tetapi ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang
diterapkannya dengan sekali-kali melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota
besar, ternyata cukup menjadi investasi menghadapi perubahan politik nasional pada
akhir 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter. Tidak banyak lembaga mahasiswa
cukup berani dan eksis dalam gerakan tersebut. Di Yogyakarta ada LMMY (Liga
Mahasiswa Muslim Yogyakarta) dan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk
Demokrasi). Sementara di Jakarta ada FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam
Jakarta.

SMID yang kemudian menjadi lembaga tingkat nasional menggambarkan rejim
Orde Baru sebagai bersifat fasis dan totaliter, dan pada 1994 menuntut sebuah sistem
multipartai demokratis. Setelah terjadinya pembantaian dan kerusuhan di kantor pusat
PDI pada Juli 1996, banyak aktivis SMID ditahan. Sementara itu, aktivis mahasiswa
muslim, termasuk yang ada di FKMIJ, mengorganisir demonstrasi besar-besaran
menentang judi milik negara, SDSB, pada 1993. Protes-protes keras terutama yang
didasarkan pada nilai-nilai agama dan moral, memaksa pemerintah membubarkan
usaha itu. Demonstrasi anti SDSB merupakan arak-arakan protes pertama yang
mencapai istana kepresidenan di Jakarta. Aktivis-aktivis mahasiswa muslim juga
ikut ambil bagian untuk menyatakan solidaritas terhadap Bosnia dan menentang
pemberantasan korupsi (Uhlin, 1998). Hal senada juga dilakukan mahasiswa muslim
Yogyakarta dibawah payung LMMY. LMMY dan FKMIJ merupakan institusi
kantong Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO)
yang menjadi lembaga bawah tanah selama Orde Baru berkuasa.

Menjelang akhir tahun 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter dan diikuti dengan
berbagai krisis lainnya, para aktivis mahasiswa semakin memantapkan posisinya
untuk melakukan gerakan menuntut Soeharto mundur. Pada saat itu, muncul banyak
sekali elemen-elemen aksi mahasiswa yang bersifat instan dengan mengusung
warna ideologi masing-masing. Namun, satu hal yang mempersatukan mereka
adalah keinginan bersama untuk menjatuhkan rejim totaliter Soeharto. Didukung
oleh berbagai demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di tanah air, gerakan ini

kemudian mengkristal menjadi gerakan massa. Sayangnya, gerakan massa rakyat
tersebut diwarnai dengan berbagai kerusuhan, terutama di Jakarta dan beberapa kota
besar lainnya, yang justru mencoreng citra gerakan mahasiswa itu sendiri. Walaupun
demikian, tekanan perubahan yang dahsyat pada waktu itu memaksa Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Di sinilah mahasiswa
bersama elemen masyarakat lainnya—kecuali militer—berperan sangat sentral dalam
menggulingkan rejim Orde Baru.

Kalau pada tahun 1966 mahasiswa bekerjasama dengan militer dalam menggulingkan
Orde Lama, maka pada tahun 1998 mahasiswa justru menjadikan militer sebagai
musuh bersama (common enemy) yang dianggap anti reformasi. Demikianlah,
momentum perubahan politik nasional pada 1998 yang terkenal dengan
istilah “gerakan reformasi” tidak serta merta membawa perubahan yang menyeluruh
dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan anti reformasi Orde baru masih banyak
bercokol di Partai Golkar dan TNI. Dus, setelah empat tahun rejim Soeharto
dijatuhkan, kemudian berturut-turut penguasa berganti dari Habibie, Abdurrahman
Wahid, dan kini Megawati Soekarnoputri, perubahan yang sejak awal dicita-citakan
mahasiswa belum banyak memenuhi harapan. Di sinilah peran gerakan mahasiswa
era selanjutnya harus dimainkan, yakni menuntaskan berbagai agenda reformasi yang
belum berjalan.

Penutup
Sejak Perhimpunan Indonesia berdiri pada 1908 hingga tahun perubahan politik
nasional tahun 1998, gerakan mahasiswa Indonesia mengalami fluktuasi dan pasang
surut mengikuti situasi perubahan yang terjadi. Dalam masa-masa itu pula peran
sentral mereka dalam perubahan terlihat jelas. Walaupun demikian, ada juga masa-
masa di mana mereka tidak mampu menampilkan perannya secara maksimal, seperti
pada saat kurun waktu 1978 hingga awal 1990-an. Disamping itu, kondisi subyektif
seperti yang dijelaskan Sarlito menunjukkan bahwa para aktivis mahasiswa adalah
kelompok minoritas kreatif yang kerap tampil sebagai penggerak utama dalam setiap
momentum gerakan.

Lantas, bagaimana gerakan mahasiswa Indonesia ke depan? Apakah mereka akan
menemukan bentuknya yang relevan, atau justru kembali pada pengulangan sejarah
dalam ketidakberdayaannya? Kalau kita melihat kondisi ril sejak reformasi 1998,
gerakan mahasiswa cenderung tidak jelas. Keberhasilan gerakan tahun 1998 tidak
serta merta memberikan dinamika positif pada gerakan mahasiswa selanjutnya
secara keseluruhan. Ternyata, depolitisasi Orde baru masih tersimpan dalam alam
bawah sadar mahasiswa dan masyarakat kita hingga kini. Sehingga pembinaan
mahasiswa di lembaga intra kampus pun belum berubah dan beranjak maju. Dengan
kata lain, masih seperti dulu pada jaman NKK/BKK. Lemahnya proses ideologisasi
dan hanya ditopang oleh semangat euforia sesaat, menyebabkan gerakan tahun
1998 hanya menemukan momentumnya yang sementara, dan kemudian redup.

Walaupun demikian, dengan melihat analisis di atas, maka tentu saja gerakan
mahasiswa tidak boleh berhenti, sebelum perubahan masyarakat seperti yang dicita-
citakan terwujud. Generasi boleh berganti, tapi semangat, cita-cita dan idealisme
gerakan tidak boleh redup. ***

Adie Usman Musa adalah mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM tahun 1998-1999.
Dipresentasikan dalam sebuah seminar tentang gerakan mahasiswa di kampus UGM,
April 2002.

Daftar Pustaka
Akira Nagazumi, 1977, Masa awal Pembentukan “Perhimpunan Indonesia”: Kegiatan
Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda, 1916 – 1917, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta.
Anders Uhlin, 1998, Oposisi Berserak; Arus Demokratisasi Gelombang Ketiga di
Indonesia, Mizan, Bandung
Eggi Sudjana, 1995, Transformasi Gerakan Politik Mahasiswa Indonesia, Jurnal
Universal, Jakarta.
Mohtar Mas’oed, 1994, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sarlito W. Sarwono, 1979, Perbedaan antara Pemimpin dan Aktivis dalam Gerakan
Protes Mahasiswa: Suatu Studi Psikologi Sosial, Prisma, Jakarta